SUMUT VIRAL, Lahewa – Gempa bumi di Pulau Nias pada tanggal 28 Maret 2005 menyisakan begitu banyak kenangan bagi masyarakat pulau Nias. Menurut data yang diambil dari berbagai sumber, ada 915 orang meninggal dunia dan ribuan orang kehilangan tempat tinggalnya.
Sebagian masyarakat memilih mengungsi ke luar pulau nias di Sibolga dan tempat lain di luar pulau Nias.
Berbagai bantuan berdatangan dari dalam dan luar negeri. Namun yang mengejutkan bantuan datang 1 tahun setelah kejadian Gempa Magnitudo yang berkuatan 8.6 menurut catat BMKG tersebut.
Begitulah penuturan Ustadz Hasan Akhfasy pada Senin (28/10/2024) di Kediamannya di Lahewa.
Ustadz Hasan berasal dari Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung.
Hasan Akhfasy mengawali karirnya menjadi seorang relawan di salah satu organisasi Kemanusiaan di Bandung.
Pada tahun 2005, tepatnya 12 Mei 2005 beliau ditugaskan menjadi relawan di Pulau Nias. Menurut penuturan Ustadz Hasan beliau tidak mengetahui sama sekali Pulau Nias itu dimana.
“Saya gak tahu sama sekali, jadi saya berangkat dari Jakarta waktu itu, sama tim cuma bilang, nanti dijemput di Medan, gitu aja” ungkapnya.
“Pertama sekali saya sampai Kepulau Nias itu dijemput sama Tim Kemanusiaan dari Jakarta berangkat dari jam 8 pagi sampai di Lahewa ini Jam 5 sore. Kondisi jalannya pasca gempa semua jembatan putus, tiang listrik tumbang ke jalan,” kenangnya.
Hasan mengungkapkan kondisi Lahewa saat itu sangat sepi. Ditambah lagi listrik padam dan tidak ada alat komunikasi yang bisa digunakan saat itu. “Tidak ada listrik, Handphone dan saya tinggal di tenda selama 1 tahun,” ujarnya.
Saat jadi relawan di tahun 2005 Ustadz Hasan sudah mulai mengajar mengaji di kalangan anak-anak hingga kontrak kerjanya berakhir.
Tahun 2007 Hasan berniat meninggalkan Nias Utara. Namun melihat kondisi masyarakat yang sangat membutuhkan tokoh agama saat itu, dimana tidak ada satupun Guru Bahasa Arab membuat Ustadz Hasan menutuskan untuk menetap di Nias Utara dan kembali mengajar di Taman Pendidikan Quran (TPQ).
“Pada tahun 2005 di Lahewa sudah berdiri beberapa madrasah diantaranya, MIS Muhammadiyah Lahewa, MIS NU II Lahewa, MTs.S.PN Lahewa, MAS Lahewa, RA NU Lahewa. Namun tidak ada satupun yang Guru Bahasa Arabnya, itu yang membuat saya memutuskan untuk tetap tinggal disini”, ujarnya.
Meski dengan kondisi yang serba kekurangan Ustadz Hasan tidak memungut biaya sepeserpun kepada peserta didiknya sejak pertama kali dirinya mengajar mengaji hingga saat ini.
“Saya ikhlas mengajari mereka mengaji di TPQ,” ungkapnya.
Sore menjelang Sholat Ashar terdengar suara azan berkumandang. Ustadz Hasan bergegas menuju masjid untuk melaksanakan Sholat Ashar. Setelah selesai sholat ashar kami menuju rumah ustadz Hasan dan murid-murid TPQ sudah menunggu di teras rumah.
“Beginilah keadaannya, Memang bangunan TPQ belum ada, kami mengaji di teras rumah ini,” ungkap Ustadz Hasan begitu sampai di rumahnya. Dan yang paling mengejutkan bahwa rumah yang dimiliki Ustadz Hasan saat ini juga sebagian besar hasil dari sumbangan masyarakat.
“Rumah saya ini saja sebagian besar dari pemberian masyarakat, ada yang kasih pasir, papan. Kalau di pikir-pikir uang dari mana saya bisa bangun rumah,” ungkapnya.
Dari penuturan Ustadz Hasan, Ia memiliki motivasi hidup untuk tetap menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain walau dalam keadaan bagaimanapun.
Ditengah keterbatasan sarana dan prasarana semangat mencerdaskan anak bangsa tetap terpancar dari Ustadz Hasan. Dari pengakuan ustadz Hasan selain mengajar TPQ beliau juga membuka bimbingan gratis untuk siswa-siswinya yang ingin melanjutkan sekolah ke pesantren.
“Saya juga membuka bimbingan khusus kepada siswa-siswi yang ingin melanjutkan study mereka ke pesantren-pesantren, dan menjembatani mereka menuju pesantren yang mereka impikan, itu semua saya gratiskan!” tutur ustadz Hasan.
Menurut penuturan Ustadz Hasan Setiap tahun siswa selalu bertambah. Dari tahun 2005 jumlah siswa kurang lebih 8 orang dan itu bertambah setiap tahun.
Saat ini jumlah siswa TPQ kurang lebih 60 orang yang dibagi dua kelompok belajar, 30 orang mengaji setelah shalat ashar dan sisanya mengaji setelah shalat magrib.
“Saya mengratiskan biaya sekolah di TPQ ini karena melihat kondisi ekonomi masyarakat di sini. Sebagian besar pekerjaan orang tua mereka bekerja sebagai nelayan, tukang bangunan, dan serabutan,” sambung Ustadz Hasan.
Ustad Hasan berharap kedepannya memiliki tempat tersendiri untuk melaksanakan pembelajaran TPQ ini, serta dengan keterbatasan guru mengaji ada perhatian dari pemerintah untuk bisa memberikan insentif kepada guru mengaji sehingga pembelajaran tetap berjalan dengan semestinya. (ril)